BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Diabetes mellitus
(DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis
dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai
dengan gangguan metabolisme karbohidrat,lipid dan protein sebagai akibat
insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan
oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans
kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh
terhadap insulin. Jika kekurangan produksi insulin atau terdapat resistensi
insulin maka kadar glukosa dalam darah akan meninggi (melebihi nilai normal).
Insulin adalah suatu zat yang dihasilkan oleh sel beta
pankreas. Insulin diperlukan agar glukosa dapat memasuki sel tubuh, di mana
gula tersebut kemudian dipergunakan sebagai sumber energi. Jika tidak ada
insulin, atau jumlah insulin tidak memadai, atau jika insulin tersebut cacat ,
maka glukosa tidak dapat memasuki sel dan tetap berada di darah dalam jumlah
besar.
Penyakit diabetes melitus atau kencing manis disebabkan
oleh multifaktor, keturunan merupakan salah satu faktor penyebab. Selain
keturunan masih diperlukan faktor-faktor lain yang disebut faktor pencetus,
misalnya adanya infeksi virus tertentu, pola makan yang tidak sehat, stres,
.Diabetes mellitus
merupakan penyakit menahun yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang
melebihi nilai normal. Apabila dibiarkan tidak terkendali, diabetus mellitus
dapat menimbulkan komplikasi yang berakibat fatal, misalnya terjadi penyakit
jantung koroner, gagal ginjal, kebutaan dan lain-lain.
Menurut data stastistik
tahun 1995 dari WHO terdapat 135 juta penderita diabetes mellitus di seluruh
dunia. Tahun 2005 jumlah diabetes mellitus diperkirakan akan melonjak lagi
mencapai sekitar 230 juta. Angka mengejutkan dilansir oleh beberapa Perhimpunan
Diabetes Internasional memprediksi jumlah penderita diabetes mellitus lebih
dari 220 juta penderita di tahun 2010 dan lebih dari 300 juta di tahun 2025.
Data WHO di tahun 2002
diperkirakan terdapat lebih dari 20 juta penderita diabetes mellitus di tahun
2025. tahun 2030 angkanya bisa melejit mencapai 21 juta penderita. Saat ini
penyakit diabetes mellitus banyak dijumpai penduduk Indonesia. Bahkan WHO
menyebutkan, jumlah penderita diabetes mellitus di Indonesia menduduki ranking
empat setelah India, China, dan Amerika Serikat.
Apoteker, terutama bagi
yang bekerja di sektor kefarmasian komunitas, memiliki peran yang sangat
penting dalam keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Membantu penderita
menyesuaikan pola diet sebagaimana yang disarankan ahli gizi, mencegah dan
mengendalikan komplikasi yang mungkin timbul, mencegah dan mengendalikan efek
samping obat, memberikan rekombinasi penyesuaian rejimen dan dosis obat yang
harus dikonsumsi penderita bersama-sama dengan dokter yang merawat penderita,
yang kemungkinan dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi
penderita, merupakan peran yang sangat sesuai dengan kompetensi dan tugas
seorang apoteker. Apoteker dapat juga memberikan tambahan ilmu pengetahuan
kepada penderita tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kondisi dan
pengelolaan diabetes.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana proses metabolisme karbohidrat ?
1.2.2
Bagaimana pengaruh pemberian obat oral
terhadap penurunan glukosa dalam darah hewan coba ?
1.3 Tujuan
1.3.1
Untuk mengetahui proses metabolisme
karbohidrat sehingga dapat mengakibatkan peningkatan kadar gula dalam darah
1.3.2
Untuk mengetahui pemberian obat oral terhadap
penurunan glukosa dalam darah hewan coba
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Dasar Teori
2.1.1 PENGERTIAN DIABETES MELITUS
1. Diabetes
melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan
adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut
maupun relatif. (Syahfudin, 2002, hlm. 32).
2. Diabetes
melitus adalah diabetes yang berkaitan dengan kadar gula dalam tubuh, juga
dikenal dengan nama kencing manis. (Tjahjadi, 2011, hlm. 3)
3. Diabetes
melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan
metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan komplikasi pada mata,
ginjal, saraf, dan pembuluh darah. (Nogroho, 2011, hlm. 53).
4. Diabetes
melitus (DM) adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh ketidak mampuan tubuh
untuk memproduksi hormon insulin atau karena penggunaan yang tidak efektif dari
insulin. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar glukosa dalam darah. Penyakit
ini membutuhkan perhatian dan perawatan medis dalam waktu lama baik untuk
mencegah komplikasi maupun perawatan sakit. DM ada yang merupakan penyakit
genetik atau disebabkan keturunan disebut DM tipe 1 dan yang disebabkan gaya
hidup disebut DM tipe 2. Gaya hidup yang tidak sehat menjadi pemicu utama
meningkatnya prevalensi DM, jika dicermati ternyata orang-orang yang gemuk
mempunyai resiko terkena DM lebih besar dari yang tidak gemuk (Tan dan Raharja,
2002).
2.1.2 KLASIFIKASI
Menurut klasifikasi klinisnya diabetes
melitus dibedakan menjadi :
1.
Tipe 1 (DMT1) adalah insufisiensi absolut
insulin.
2.
Tipe 2 (DMT2) adalah resistensi insulin yang
disertai defek sekresi insulin dengan derajat bervariasi
3.
Diabetes kehamilan (gestasional) yang muncul
pada saat hamil (Kowalak & Welsh, 2003, hlm. 519).
4.
Gangguan toleransi glukosa (GTG), kadar
glukosa antara normal dan diabetes, dapat menjadi diabetes atau menjadi normal
atau tetap tidak berubah. (Price, 1995, hlm. 1259).
2.1.3 ETIOLOGI
Etiologi secara umum
tergantung dari tipe Diabetes, yaitu :
1. Diabetes
Tipe I ( Insulin Dependent Diabetes
Melitus / IDDM )
Diabetes yang tergantung insulin yang
ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas disebabkan oleh :
a. Faktor
genetic
Penderita DM tidak mewarisi DM tipe 1 itu
sendiri tapi mewarisi suatu predisposisi / kecenderungan genetik ke arah
terjadinya DM tipe 1. Ini ditemukan pada individu yang mempunyai tipe antigen
HLA ( Human Leucocyte Antigen )
tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen
transplatasi dan proses imun lainnya.
b. Faktor
Imunologi
Respon abnormal dimana antibodi terarah pada
jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang
dianggap seolah-olah sebagai jaringan asing.
c. Faktor
lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu
proses autoimun yang menimbulkan destruksi sel beta.
2. Diabetes
Tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes
Melitus / NIDDM )
Mekanisme yang tepat yang
menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe
II belum diketahui. Faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses
terjadinya resistensi insulin. Selain itu terdapat faktor-faktor risiko tertentu
yang berhubungan yaitu :
a.
Usia
Umumnya manusia mengalami
penurunan fisiologis yang secara dramatis menurun dengan cepat pada usia
setelah 40 tahun. Penurunan ini yang akan beresiko pada penurunan fungsi
endokrin pankreas untuk memproduksi insulin. (Sujono & Sukarmin, 2008, hlm.
73).
b.
Obesitas
Obesitas mengakibatkan
sel-sel beta pankreas mengalami hipertropi yang akan berpengaruh terhadap
penurunan produksi insulin. Hipertropi pankreas disebabkan karena peningkatan
beban metabolisme glukosa pada penderita obesitas untuk mencukupi energi sel
yang terlalu banyak. (Sujono & Sukarmin, 2008, hlm.73).
c.
Riwayat Keluarga
Anggota keluarga dekat
pasien diabetes tipe 2 (dan pada kembar non identik), risiko menderita penyakit
ini 5 hingga 10 kali lebih besar daripada subjek (dengan usia dan berat yang
sama) yang tidak memiliki riwayat penyakit dalam keluarganya. Tidak seperti diabetes
tipe 1, penyakit ini tidak berkaitan dengan gen HLA. Penelitian epidemiologi
menunjukkan bahwa diabetes tipe 2 tampaknya terjadi akibat sejumlah defek
genetif, masing-masing memberi kontribusi pada risiko dan masing-masing juga
dipengaruhi oleh lingkungan. (Robbins, 2007, hlm. 67).
d.
Gaya hidup (stres)
Stres kronis cenderung
membuat seseorang mencari makanan yang cepat saji yang kaya pengawet, lemak,
dan gula. Makanan ini berpengaruh besar terhadap kerja pankreas. Stres juga
akan meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan kebutuhan akan sumber
energi yang berakibat pada kenaikan kerja pankreas. Beban yang tinggi membuat
pankreas mudah rusak hingga berdampak pada penurunan insulin. ( Smeltzer and
Bare,1996, hlm. 610).
2.1.4 PATOFISIOLOGI
1.
Diabetes tipe 1
DM tipe 1
adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan kerusakan sel-sel Beta
pada pankreas secara selektif. Onset penyakit secara klinis menandakan bahwa
kerusakan sel-sel beta telah mencapai status terakhir.
Beberapa fitur
mencirikan bahwa diabetes tipe I merupakan penyakit autoimun. Ini termasuk
a.
Kehadiran
sel-immuno kompeten dan sel aksesori di pulau pancreas yang diinfiltrasi.
b.
Asosiasi
dari kerentanan terhadap penyakit dengan kelas II (respon imun) gen mayor
histokompatibilitas kompleks (MHC; leukosit manusia antigen HLA).
c.
Kehadiran
autoantibodies yang spesifik terhadap sel Islet of Lengerhans;
d.
Perubahan
pada immunoregulasi sel-mediated T, khususnya di CD4 + Kompartemen.
e.
Keterlibatan
monokines dan sel Th1 yang memproduksi interleukin dalam proses penyakit.
f.
Respons
terhadap immunotherapy, dan
g.
Sering
terjadi reaksi autoimun pada organ lain yang pada penderita diabetes tipe 1
atau anggota keluarga mereka.
h.
Mekanisme
yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh untuk berespon terhadap sel-sel beta
sedang dikaji secara intensif.
2. Diabetes tipe 2
DM tipe 2
memiliki hubungan genetik lebih besar dari tipe 1 DM. Satu studi populasi
kembar yang berbasis di Finlandia telah menunjukkan rate konkordansi pada
kembar yang setinggi 40%. Efek lingkungan dapat menjadi faktor yang menyebabkan
tingkat konkordansi diabetes tibe 2 lebih tinggi daripada tipe 1 DM. Studi
genetika molekular pada diabetes tipe 2, menunjukkan bahwa mutasi pada gen
insulin mengakibatkan sintesis dan sekresi insulin yang abnormal, keadaan ini
disebut sebagai insulinopati. Sebagian besar pasien dengan insulinopati
menderita hiperinsulinemia, dan bereaksi normal terhadap administrasi insulin
eksogen. Gen reseptor insulin terletak pada kromosom yang mengkodekan protein
yang memiliki alfa dan subunit beta, termasuk domain transmembran dan domain
tirosin kinase. Mutasi mempengaruhi gen reseptor insulin telah diidentifikasi
dan asosiasi mutasi dengan diabetes tipe 2 dan resistensi insulin tipe A telah
dipastikan.
Insulin resistensi tidak cukup untuk
menyebabkan overt glucose intolerance, tetapi dapat memainkan peranan
yang signifikan dalam kasus obesitas di mana terdapat penurunan fungsi insulin.
Insulin resistensi mungkin merupakan event sekunder pada diabetes tipe 2,
karena juga ditemukan pada individual obese non-diabetik. Namun, gangguan dalam
sekresi insulin barulah faktor primer dalam diabetes tipe 2. Banyak faktor
berkontribusi kepada ketidakpekaan insulin, termasuk obesitas dan durasi
obesitas, umur, kurangnya latihan, peningkatan pengambilan lemak dan kurangnya
serat dan faktor genetik. Obesitas dapat disebabkan oleh faktor genetika bahkan
faktor lingkungan, namun, ini memiliki efek yang kuat pada pengembangan
diabetes tipe 2 DM seperti yang ditemukan di negara-negara barat dan beberapa
etnis seperti Pima Indian. Evolusi obesitas sehingga menjadi diabetes tipe 2
adalah seperti berikut :
a.
Augmentasi
dari massa jaringan adiposa, yang menyebabkan peningkatan oksidasi lipid.
b.
Insulin
resistensi pada awal obesitas, dinampakkan dari klem euglycemic, sebagai
resistent terhadap penyimpanan glukosa insulinmediated dan oksidasi. Seterusnya
memblokir fungsi siklus glikogen.
c.
Meskipun
sekresi insulin dipertahankan, namun, glikogen yang tidak terpakai mencegah
penyimpanan glukosa yang lebih lanjut dan mengarah ke diabetes tipe 2.
d.
Kelehan
sel beta yang menghasilkan insulin secara komplet. Proses-proses ini, dapat
dinyatakan bahwa obesitas lebih dari sekedar faktor risiko sahaja, namun dapat
memiliki efek kausal dalam pengembangan diabetes tipe 2.
Sebagian besar patologi
diabetes melitus dapat dihubungkan dengan efek utama kekurangan insulin yaitu :
a. Pengurangan
penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, yang mengakibatkan peningkatan
konsentrasi glukosa darah sampai setinggi 300 sampai 1200 mg per 100 ml.
b. Peningkatan
mobilisasi lemak dan daerah penyimpanan lemak sehingga menyebabkan kelainan
metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler.
b. Pengurangan
protein dalam jaringan tubuh.
2.1.5 DAMPAK KEADAAN PATOFISIOLOGI
1.
Hiperglikemia
Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar
glukosa darah yang tinggi daripada rentang kadar puasa normal 80-90 mg/100 ml
darah, atau rentang non puasa sekitar 140-160 mg/100 ml darah. (Corwin, 2001,
hlm. 623).
Keadaan dimana insulin normal asupan glukosa
atau produksi glukosa dalam tubuh akan difasilitasi (oleh insulin) untuk masuk
ke dalam sel tubuh. Glukosa itu kemudian diolah untuk menjadi bahan energi.
Apabila bahan energi yang dibutuhkan masih ada sisa akan disimpan sebagai
glikogen dalam sel-sel hati dan sel-sel otot (sebagai massa sel otot). Proses
glikogenesis (pembentukan glikogen dari unsur glukosa ini dapat mencegah
hiperglikemia). Pada penderita diabetes melitus proses ini tidak dapat
berlangsung dengan baik sehingga glukosa banyak menumpuk di darah
(hiperglikemia). (Long, 1996, hlm. 11).
Secara rinci proses
terjadinya hiperglikemia karena defisit insulin tergambar pada perubahan
metabolik sebagai berikut :
a.
Transport glukosa yang melintasi membran
sel-sel berkurang.
b.
Glukogenesis (pembentukan glikogen dari
glukosa) berkurang dan tetap terdapat kelebihan glukosa dalam darah.
d.
Glikolisis (pemecahan glukosa) meningkat,
sehingga cadangan glikogen berkurang, dan glukosa “hati” dicurahkan dalam darah
secara terus menerus melebihi kebutuhan.
e.
Glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari
unsur non karbohidrat) meningkat dan lebih banyak lagi glukosa “hati” yang
tercurah ke dalam darah hasil pemecahan asam amino dan lemak. (Long, 1996,
hlm.11)
Hiperglikemia akan
mengakibatkan pertumbuhan berbagai mikroorganisme dengan cepat seperti bakteri
dan jamur. Karena mikroorganisme tersebut sangat cocok dengan daerah yang kaya
glukosa. Setiap kali timbul peradangan maka akan terjadi mekanisme peningkatan
darah pada jaringan yang cidera. Kondisi itulah yang membuat mikroorganisme
mendapat peningkatan pasokan nutrisi. Kondisi itulah yang membuat
mikroorganisme mendapat peningkatan pasokan nutrisi. Kondisi ini akan
mengakibatkan penderita diabetes melitus mudah mengalami infeksi oleh bakteri
dan jamur. (Sujono, 2008, hlm. 76).
2.
Hiperosmolaritas
Hiperosmolaritas adalah
adanya kelebihan tekanan osmotik pada plasma sel karena adanya peningkatan
konsentrasi zat. Sedangkan tekanan osmosis merupakan tekanan yang dihasilkan
karena adanya peningkatan konsentrasi larutan pada zat cair. Pada penderita
diabetes melitus terjadinya hiperosmolaritas karena peningkatan konsentrasi
glukosa dalam darah (yang notabene komposisi terbanyak adalah zat cair).
Peningkatan glukosa dalam darah akan berakibat terjadinya kelebihan ambang pada
ginjal untuk memfiltrasi dan reabsorbsi glukosa (meningkat kurang lebih 225 mg/
menit). Kelebihan ini kemudian menimbulkan efek pembuangan glukosa melalui urin
(glukosuria). Ekskresi molekul glukosa yang aktif secara osmosis menyebabkan
kehilangan sejumlah besar air (diuresis osmotik) dan berakibat peningkatan
volume air (poliuria).
Akibat volume urin yang
sangaat besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi
intrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi
keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi ke plasma yang hipertonik
(sangat pekat). Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH dan menimbulkan
rasa haus. (Corwin,2001, hlm.636).
Glukosuria dapat mencapai
5-10% dan osmolaritas serum lebih dan 370-380 mosmols/ dl dalam keadaan tidak
terdapatnya keton darah. Kondisi ini dapat berakibat koma hiperglikemik
hiperosmolar nonketotik (KHHN). (Sujono, 2008, hlm. 77).
3. Starvasi
Selluler
Starvasi Selluler merupakan
kondisi kelaparan yang dialami oleh sel karena glukosa sulit masuk padahal di
sekeliling sel banyak sekali glukosa. Ada banyak bahan makanan tapi tidak bisa
dibawa untuk diolah. Sulitnya glukosa masuk karena tidak ada yang memfasilitasi
untuk masuk sel yaitu insulin. Dampak dari starvasi selluler akan terjadi
proses kompensasi selluler untuk tetap mempertahankan fungsi sel. Proses itu
antara lain :
a.
Defisiensi insulin gagal untuk melakukan
asupan glukosa bagi jaringan-jaringan peripheral yang tergantung pada insulin
(otot rangka dan jaringan lemak). Jika tidak terdapat glukosa, sel-sel otot
memetabolisme cadangan glikogen yang mereka miliki untuk dibongkar menjadi
glukosa dan energi mungkin juga akan menggunakan asam lemak bebas (keton).
Kondisi ini berdampak pada penurunan massa otot, kelemahan otot, dan rasa mudah
lelah.
b.
Starvasi selluler juga akan mengakibatkan
peningkatan metabolisme protein dan asam amino yang digunakan sebagai substrat
yang diperlukan untuk glukoneogenesis dalam hati. Hasil dari glukoneogenesis
akan dijadikan untuk proses aktivitas sel tubuh.
i.
Protein dan asam amino yang melalui proses
glukoneogenesis akan dirubah menjadi CO2 dan H2O serta glukosa. Perubahan ini
berdampak juga pada penurunan sintesis protein.
ii.
Proses glukoneogenesis yang menggunakan asam
amino menyebabkan penipisan simpanan protein tubuh karena unsur nitrogen
(sebagai unsur pemecah protein) tidak digunakan kembali untuk semua bagian
tetapi diubah menjadi urea dalam hepar dan dieksresikan dalam urine. Ekskresi
nitrogen yang banyak akan berakibat pada keseimbangan negative nitrogen.
iii.
Depresi protein akan berakibat tubuh menjadi
kurus, penurunan resistensi terhadap infeksi dan sulitnya pengembalian jaringan
yang rusak (sulit sembuh kalau cidera).
c.
Starvasi sel juga berdampak peningkatan
mobilisasi dan metabolisme lemak (lipolisis) asam lemak bebas, trigliserida,
dan gliserol yang akan meningkat bersirkulasi dan menyediakan substrat bagi
hati untuk proses ketogenesis yang digunakan sel untuk melakukan aktivitas sel.
Ketogenesis mengakibatkan peningkatan kadar asam organik (keton), sementara
keton menggunakan cadangan alkali tubuh untuk buffer pH darah menurun.
Pernafasan kusmaull dirangsang untuk mengkompensasi keadaan asidosis metabolik.
Diuresis osmotik menjadi bertambah buruk dengan adanya ketoanemis dan dari
katabolisme protein yang meningkatkan asupan protein ke ginjal sehingga tubuh
banyak kehilangan protein.
Adanya starvasi selluler
akan meningkatakan mekanisme penyesuaian tubuh untuk meningkatkan pemasukan
dengan munculnya rasa ingin makan terus (polifagi). Starvasi selluler juga akan
memunculkan gejala klinis kelemahan tubuh karena terjadi penurunan produksi
energi. Dan kerusakan berbagai organ reproduksi yang salah satunya dapat timbul
impotensi dan orggan tubuh yang lain seperti persarafan perifer dan mata
(muncul rasa baal dan mata kabur). (Sujono, 2008, hlm. 79).
Diabetes mellitus jangka
panjang member dampak yang parah ke sistem kardiovaskular, terjadi kerusakan di
mikro dan makrovaskular.
A.
MIKROVASKULAR
Komplikasi mikrovaskular
terjadi akibat penebalan membran basal pembuluh-pembuluh kecil. Penyebab
penebalan tersebut tampaknya berkaitan langsung dengan tingginya kadar glukosa
darah. Penebalan mikrovaskular tersebut menyebabkan iskemia dan penurunan
penyaluran oksigen dan zat gizi ke jaringan. Selain itu, Hb terglikosilasi
memiliki afinitas terhadap oksigen yang lebih tinggi sehingga oksigen terikat
lebih erat ke molekul Hb. Hal ini menyebabkan ketersediaan oksigen untuk
jaringan berkurang.
Hipoksia kronis juga dapat
menyebabkan hipertensi karena jantung dipaksa meningkatkan curah jantung
sebagai usaha untuk menyalurkan lebih banyak oksigen ke jaringan. Ginjal,
retina, dan sistem saraf perifer, termasuk neuron sensorik dan motorik somatic sangat
dipengaruhi oleh gangguan mikrovaskular diabetik.
Sirkulasi mikrovaskular
yang buruk juga akan menganggu reaksi imun dan inflamasi karena kedua hal ini
bergantung pada perfusi jaringan yang baik untuk menyalurkan sel-sel imun dan
mediator inflamasi. (Chang, 2006, hlm. 110).
1.
Kerusakan ginjal (Nefropati)
Diabetes mellitus kronis yang menyebabkan
kerusakan ginjal sering dijumpai, dan nefropati diabetic merupakan salah satu
penyebab terjadinya gagal ginjal. Di ginjal, yang paling parah mengalami
kerusakan adalah kapiler glomerolus akibat hipertensi dan glukosa plasma yang
tinggimenyebabkan penebalan membran basal dan pelebaran glomerolus. Lesi-lesi
sklerotik nodular, yang disebut nodul Kimmelstiel-Wilson, terbentuk di
glomerolus sehingga semakin menghambat aliran darah dan akibatnya merusak
nefron. (Corwin, 2001, hlm. 637).
2.
Kerusakan sistem saraf (Neuropati)
Penyakit saraf yang disebabkan diabetes
mellitus disebut neuropati diabetic. Neuropati diabetic disebabkan hipoksia
kronis sel-sel saraf yang kronis serta efek dari hiperglikemia.
Jaringan
saraf terjadi penimbunan sorbitol dan dan fruktosa dan penurunan kadar
mioinositol yang menimbulkan neuropati selanjutnya timbul nyeri, parestesia,
berkurangnya sensasi getar dan propoioseptik, dan gangguan motorik yang
disertai hilangnya refleks-refkeks tendon dalam, kelemahan oto-otot dan atrofi.
Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer, saraf-saraf kranial atau sistem
saraf otonom. Terserangnya sistem saraf otonom disertai diare nokturnal, keterlambatan
pengosongan lambung, hipotensi dan impotensi. (Corwin, 2001, hlm. 637)
3.
Gangguan penglihatan (Retinopati)
Retinopati disebabkan memburuknya kondisi
mikro sirkulasi sehingga terjadi kebocoran pada pembuluh darah retina. Hal ini
bahkan bisa menjadi salah astu penyebab kebutaan. Retinopati sebenarnya
merupakan kerusakan yang unik pada diabetes karena selain karena gangguan
mikrovaskular, penyakit ini juga disebabkan adanya biokimia darah sehingga
terjadi penumpukan zat-zat tertentu pada jaringan retina.
Gangguan awal pada retina
tidak menimbulkan keluhan-keluhan sehingga penderita kebanyakan tidak
mengetahui telah terkena retinopati. Hal ini baru terdeteksi oleh ahli mata
dengan ophtalmoskop.jika gangguan ini dibiarkan dan kerusakan menjadi sangat
progresif serta menyerang daerah penting (makula) maka penderita dapat
kehilangan penglihatannya. Katarak dan glaukoma (meningkatnya tekanan pada bola
mata) juga merupakan salah satu dari komplikasi mata pada pasien diabetes. Oleh
karenanya, selain mengontrol kadar gula darah, mengontrol mata pada dokter mata
secara rutin juga mutlak dilakukan oleh pasien diabetes. (Mahendra &
Tobing, 2008, hlm 23).
B.
MAKROVASKULAR
Komplikasi makrovaskular terutama terjadi akibat aterosklerosis. Komplikasi
makrovaskular ikut berperan dan menyebabkan gangguan aliran darah, penyulit
komplikasi jangka panjang, dan peningkatan mortalitas.
Diabetes yang terjadi akibat
kerusakan pada lapisan endotel arteri dan dapat disebabkan secara langsung oleh
tingginya kadar glukosa darah, metabolit glukosa, atau tingginya kadar asam
lemak dalam darah yang sering dijumpai pada pasien diabetes. Akibat kerusakan
tersebut, permeabilitas sel endotel meningkat sehingga molekul yang mengandung
lemak masuk ke arteri. Kerusakan sel-sel endotel akan mencetuskan reaksi imun
dan inflamasi sehinga akhirnya terjadi pengendapan trombosit, makrofag, dan
jaringan fibrosis. Sel-sel otot polos berproliferasi. Penebalan dinding arteri
meyebabkan hipertensi, yang semakin merusak lapisan endotel arteri karena
menimbulkan gaya merobek sel-sel edotel.
Efek vascular dari diabetes kronis adalah penyakit arteri koroner, stroke, dan
penyakit vascular perifer. Pasien diabetic yang menderita infark miokard
memiliki prognosis yang buruk dibandingkan pasien diabetes tanpa infark
miokard. Penyakit arteri koroner merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada populasi pengidap diabetes. (Chang, 2006, hlm. 110).
2.2 Pengaturan Metabolisme Glukosa
oleh Insulin.
Metabolisme
karbohidrat dan diabetes mellitus adalah dua mata rantai yang tidak dapat
dipisahkan. Keterkaitan antara metabolisme karbohidrat dan diabetes mellitus
dijelaskan oleh keberadaan hormon insulin. Penderita diabetes mellitus
mengalami kerusakan pada produksi maupun sistem kerja insulin, padahal insulin
sangat dibutuhkan tubuh dalam menjalankan fungsi regulasi metabolisme
karbohidrat. Akibatnya, penderita diabetes mellitus akan mengalami gangguan
pada metabolisme karbohidrat.
Insulin
merupakan polipeptida yang dihasilkan oleh sel-sel β pankreas yang terdiri atas
dua rantai polipeptida. Struktur insulin manusia dan beberapa spesies mamalia
kini telah diketahui. Insulin manusia terdiri atas 21 residu asam amino pada
rantai A dan 30 residu pada rantai B. Kedua rantai ini dihubungkan oleh adanya
dua buah rantai disulfida (Granner, 2003). Insulin disekresi sebagai
respon atas meningkatnya konsentrasi glukosa dalam plasma darah. Konsentrasi
ambang kadar glukosa untuk sekresi tersebut adalah antara 80-100 mg/dL (pada
saat puasa). Sementara itu, respon maksimal diperoleh pada kadar glukosa yang
berkisar antara 300-500 mg/dL. Insulin yang disekresikan dialirkan melalui
aliran darah ke seluruh tubuh. Umur insulin dalam aliran darah sangat cepat,
waktu paruhnya kurang dari 3-5 menit.
Sel-sel tubuh
menangkap insulin pada suatu reseptor glikoprotein spesifik yang terdapat pada
membran sel. Reseptor tersebut berupa heterodimer yang terdiri atas subunit α
dan subunit β dengan konfigurasi α2β2. Subunit α berada pada permukaan luar
membran sel dan berfungsi mengikat insulin. Subunit β berupa protein
transmembran yang melaksanakan fungsi tranduksi sinyal. Bagian sitoplasma
subunit β mempunyai aktivitas tirosin kinase dan tapak autofosforilasi (King,
2007).
Terikatnya
insulin subunit α menyebabkan subunit β mengalami autofosforilasi pada residu
tirosin. Reseptor yang terfosforilasi akan mengalami perubahan bentuk,
membentuk agregat, internalisasi dan menghasilkan lebih dari satu sinyal.
Kondisi dengan kadar insulin tinggi, misalnya: pada obesitas ataupun
akromegali, jumlah reseptor insulin berkurang dan terjadi resistansi terhadap
insulin. Resistansi ini diakibatkan terjadinya regulasi ke bawah. Reseptor
insulin mengalami endositosis ke dalam vesikel berbalut klatrin.
Insulin
mengatur metabolisme glukosa dengan memfosforilasi substrat reseptor insulin
(IRS) melalui aktivitas tirosin kinase subunit β pada reseptor insulin. IRS
terfosforilasi memicu serangkaian reaksi kaskade yang efek nettonya adalah
mengurangi kadar glukosa dalam darah (Granner, 2003).
Metabolisme
glukosa oleh insulin diatur melalui berbagai mekanisme kompleks yang efeknya
adalah peningkatan kadar glukosa dalam darah. Oleh karena itu, penderita
diabetes mellitus yang jumlah insulinnya tidak mencukupi atau bekerja tidak
efektif akan mengalami hiperglikemia. Ada 3 mekanisme yang terlibat yaitu:
a. Meningkatnya difusi glukosa
ke dalam sel
Pengangkutan glukosa ke dalam sel melalui proses difusi dilakukan dengan
bantuan protein pembawa. Protein ini telah diidentifikasi melalui teknik
kloning molekular. Ada 5 jenis protein pembawa tersebut yaitu GLUT1, GLUT2,
GLUT3, GLUT4 dan GLUT 5. GLUT1 merupakan pengangkut glukosa yang ada pada otak,
ginjal, kolon dan eritrosit. GLUT2 terdapat pada sel hati, pankreas, usus halus
dan ginjal. GLUT3 berfungsi pada sel otak, ginjal dan plasenta. GLUT4 terletak
di jaringan adiposa, otot jantung dan otot skeletal. GLUT5 bertanggung jawab
terhadap absorpsi glukosa dari usus halus. Insulin meningkatkan secara
signifikan jumlah protein pembawa terutama GLUT4. Sinyal yang ditransmisikan
oleh insulin menarik pengangkut glukosa ke tempat yang aktif pada membran
plasma. Translokasi protein pengangkut ini bergantung pada suhu dan energi,
namun tidak bergantung pada sintesis protein. Efek ini tidak terjadi pada hati.
b. Peningkatan aktivitas enzim
Kondisi normal, sekitar separuh dari glukosa yang dimakan diubah menjadi
energi lewat glikolisis dan separuh lagi disimpan sebagai lemak atau glikogen.
Glikolisis akan menurun dalam keadaan tanpa insulin dan proses glikogenesis
ataupun lipogenesis akan terhalang. Hormon insulin meningkatkan glikolisis
sel-sel hati dengan cara meningkatkan aktivitas enzim-enzim yang berperan, seperti
glukokinase, fosfofruktokinase dan piruvat kinase. Meningkatnya aktivitas
glikolisis akan meningkatkan penggunaan glukosa, dengan demikian secara tidak
langsung akan menurunkan pelepasan glukosa ke plasma darah. Insulin juga
menurunkan aktivitas glukosa-6-fosfatase, yaitu: enzim yang ditemukan di hati
dan berfungsi mengubah glukosa menjadi glukosa 6-fosfat. Penumpukan glukosa
6-fosfat dalam sel mengakibatkan retensi glukosa yang mengarah pada diabetes
mellitus tipe 2.
Banyak efek
metabolik insulin, khususnya yang terjadi dengan cepat dilakukan dengan
mempengaruhi reaksi fosforilasi dan difosforilasi protein, yang selanjutnya
akan mengubah aktivitas enzimatik enzim tersebut. Kerja insulin dilaksanakan
dengan mengaktifkan protein kinase, menghambat protein kinase lain atau
meransang aktivitas fosfoprotein fosfatase. Defosforilasi meningkatkan
aktivitas sejumlah enzim penting. Modifikasi kovalen ini memungkinkan
terjadinya perubahan yang hampir seketika pada aktivitas enzim tersebut.
Mekanisme defosforilasi enzim dilakukan melalui reaksi kaskade yang dipicu oleh
fosforilasi substrat reseptor insulin. Sebagai contoh adalah pengeruh insulin
pada enzim glikogen sintase dan glikogen fosforilase (King, 2007).
c. Menghambat kerja cAMP
Penghambat atau merangsang kerja suatu enzim, insulin memainkan peran
ganda. Selain menghambat secara langsung, insulin juga mengurangi terbentuknya
cAMP yang memiliki sifat antagonis terhadap insulin. Selain itu, insulin
merangsang terbentuknya fosfodiesterase-cAMP. Dengan demikian insulin
mengurangi kadar cAMP dalam darah.
Kerja insulin
yang telah dijelaskan tersebut, semuanya terjadi pada tingkat membran plasma
atau di dalam sitoplasma. Insulin juga mempengaruhi berbagai proses spesifik
dalam nukleolus. Enzim fosfoenolpiruvat karboksikinase mengkatalisis tahap yang
membatasi kecepatan reaksi dalam glukoneogenesis. Sintesis enzim tersebut
dikurangi oleh insulin, sehingga glukoneogenesis akan menurun. Hasil penelitian
menunjukkan transkripsi enzim ini menurun dalam beberapa menit setelah
penambahan insulin. Penurunan transkripsi tersebut menyebabkan terjadinya
penurunan laju sintesis enzim ini.
Penderita
diabetes mellitus memiliki jumlah protein pembawa yang sangat rendah, terutama
pada otot jantung, otot rangka dan jaringan adiposa karena insulin yang
mentranslokasikannya ke situs aktif tidak tersedia. Kondisi ini diperparah pula
dengan peranan insulin pada pengaturan metabolisme glukosa. Glikolisis dan
glikogenesis akan terhambat karena enzim yang berperan dalam kedua jalur tersebut
diinaktivasi tanpa kehadiran insulin. Hal ini menyebabkan jalur metabolisme
yang mengarah pada pembentukan glukosa diransang terutama oleh glukagon dan
epinefrin yang bekerja melalui cAMP yang memiliki sifat antagonis terhadap
insulin. Oleh karena itu, penderita diabetes mellitus baik tipe I atau tipe II
kurang dapat menggunakan glukosa yang diperolehnya melalui makanan. Glukosa
akan terakumulasi dalam plasma darah (hiperglikemia).
Penderita
diabetes mellitus memiliki kadar gula yang sangat tinggi. Gula tersebut akan
dikeluarkan melalui urine. Gula disaring oleh glomerolus ginjal secara terus
menerus, tetapi kemudian akan dikembalikan ke dalam sistem aliran darah melalui
sistem reabsorpsi tubulus ginjal. Kapasitas ginjal mereabsorpsi glukosa
terbatas pada laju 350 mg/menit. Ketika kadar glukosa sangat tinggi, filtrat
glomerolus mengandung glukosa di atas batas ambang untuk direabsorpsi.
Akibatnya kelebihan glukosa tersebut dikeluarkan melalui urine. Gejala ini
disebut glikosuria yang merupakan indikasi lain dari penyakit diabetes
mellitus. Glikosuria ini mengakibatkan kehilangan kalori yang sangat besar
(Mayes, 2003).
Kadar glukosa
yang sangat tinggi pada aliran darah maupun pada ginjal akan mengubah tekanan
osmotik tubuh. Secara otomatis, tubuh akan mengadakan osmosis untuk
menyeimbangkan tekanan osmotik. Ginjal akan menerima lebih banyak air, sehingga
penderita akan sering buang air kecil. Konsekuensi lain dari hal ini adalah
tubuh kekurangan air. Penderita mengalami dehidrasi (hiperosmolaritas)
bertambahnya rasa haus dan gejala banyak minum (polidipsia).
Ketidaksediaan
glukosa dalam sel juga mengakibatkan terjadinya glukoneogenesis secara
berlebihan. Sel-sel hati akan meningkatkan produksi glukosa dari substrat lain,
salah satunya adalah dengan merombak protein. Asam amino hasil perombakan
ditransaminasi sehingga akan menghasilkan substrat atau senyawa antara dalam
pembentukan glukosa. Peristiwa berlangsung terus-menerus karena insulin yang
membatasi glukoneogenesis sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Glukosa
yang dihasilkan kemudian akan terbuang melalui urine. Akibatnya, terjadi
pengurangan jumlah jaringan otot dan jaringan adiposa secara signifikan.
Penderita akan kehilangan berat tubuh yang hebat kendati terdapat peningkatan
selera makan (polifagia) dan asupan kalori normal atau meningkat (Granner,
2003).
Penderita
diabetes tipe I juga mengalami hipertrigliseridemia, yaitu: suatu keadaan
dimana kadar trigliserida dan VLDL dalam darah yang tinggi.
Hipertrigliseridemia terjadi karena VLDL yang disintesis dan dilepaskan tidak
mampu diimbangi oleh kerja enzim lipoproteinlipase yang merombaknya. Jumlah
enzim ini diransang oleh rasio insulin dan glukagon yang tinggi. Efek pada
produksi enzim ini juga mengakibatkan hipersilomikronemia, karena enzim ini
juga dibutuhkan dalam katabolisme silomikron pada jaringan adiposa.
Berbeda dengan
penderita diabetes tipe I, pada penderita diabetes tipe II, ketoasidosis tidak
terjadi karena penguraian lemak (lipolisis) tetap terkontrol. Namun, pada
terjadi hipertrigliseridemia yang menghasilkan peningkatan VLDL tanpa disertai
hipersilomikronemia. Hal ini terjadi karena peningkatan kecepatan sintesis de
novo dari asam lemak tidak diimbangi oleh kecepatan penyimpanannya pada
jaringan lemak. Asam lemak yang dihasilkan tidak semuanya mampu dikatabolisme,
kelebihannya diesterifikasi menjadi trigliserida dan VLDL. Hal ini diperparah
oleh aktivitas fisik penderita diabetes mellitus tipe II yang pada umumnya
sangat kurang. Akibatnya kadar lemak dalam darah akan meningkat. Pada penderita
yang akut, akan terjadi penebalan pada pembuluh darah terutama pada bagian
mata, sehingga dapat menyebabkan rabun atau bahkan kebutaan (Harris dan Crabb,
1992).
2.3 Gejala Diabetes Melitus
Tiga gejala umum yang dialami
penderita diabetes. Yaitu:
a.
banyak
minum,
b.
banyak
kencing,
c.
berat
badan turun.
Awalnya, kadang-kadang berat badan
penderita DM naik. Penyebabnya, kadar gula tinggi dalam tubuh. Maka perlu
waspada apabila keinginan minum kita terlalu berlebihan dan juga merasa ingin
makan terus. Berat badan yang pada awalnya terus melejit naik dan tiba-tiba
turun terus tanpa diet. Gejala lain, adalah gangguan saraf tepi berupa
kesemutan terutama di malam hari, gangguan penglihatan, gatal di daerah
kemaluan atau lipatan kulit, bisul atau luka yang lama sembuh, gangguan ereksi
pada pria dan keputihan pada perempuan. Pada tahap awal gejala umumnya ringan
sehingga tidak dirasakan, baru diketahui sesudah adanya pemeriksaan
laboratorium.
Tahap lanjut gejala yang muncul antara
lain :
a.
Rasa
haus
b.
Banyak
kencing
c.
Berat
badan turun
d.
Rasa
lapar
e.
Badan
lemas
f.
Rasa
gatal
g.
Kesemutan
h.
Mata
kabur
i.
Kulit
Kering
j.
Gairah
sex lemah
Jika tidak tepat ditangani, dalam
jangka panjang penyakit diabetes bisa menimbulkan berbagai komplikasi. Maka
bagi penderita diabet jangan sampai lengah untuk selalu mengukur kadar gula
darahnya, baik ke laboratorium atau gunakan alat sendiri.
Bila tidak waspada maka bisa berakibat
pada gangguan pembuluh darah antara lain :
a.
gangguan
pembuluh darah otak (stroke),
b.
pembuluh
darah mata (gangguan penglihatan),
c.
pembuluh
darah jantung (penyakit jantung koroner),
d.
pembuluh
darah ginjal (gagal ginjal), serta
e.
pembuluh
darah kaki (luka yang sukar sembuh/gangren).
Penderita juga rentan infeksi, mudah
terkena infeksi paru, gigi, dan gusi serta saluran kemih.
2.4 Penggolongan Jenis Obat
Adapun penggolongan
obat-obat antidiabetik adalah sebagai berikut:
1.
Insulin
Insulin adalah peptida dengan BM kira-kira 6000. Peptida ini terdiri dari 51 asam amino
tersusun dalam 2 lantai; rantai A yang terdiri dari 21 asam amino dan rantai B
terdiri dari 30 asam amino. Insulin diekstraksi dari pankreas babi atau sapi
berupa kristal putih tidak berbau. Kristalisasi terjadi pengaruh Zn. Kristal
ini tidak larut di dalam pH netral tetapi larut di dalam asam mineral encer
atau alkali.
Prinsipnya,
sekresi insulin dikendalikan oleh tubuh untuk menstabilkan kadar gula darah.
Apabila kadar gula di dalam darah tinggi, sekresi insulin akan meningkat.
Sebaliknya, apabila kadar gula darah rendah, maka sekresi insulin juga akan
menurun. Keadaan normal, kadar gula darah di bawah 80 mg/dl akan menyebabkan
sekresi insulin menjadi sangat rendah. Stimulasi sekresi insulin oleh
peningkatan kadar glukosa darah berlangsung secara bifasik. Fase 1 akan
mencapai puncak setelah 2-4 menit dan masa kerja pendek, sedangkan mula kerja
(onset) fase 2 berlangsung lebih lambat, namun dengan lama kerja (durasi) yang
lebih lama pula.
Bila
terdapat hambatan metabolisme glukosa di dalam sel, perangsangan sekresi
insulin oleh glukosa juga terhambat. Pada keadaan tersebut kadar glukosa yang
tinggi dalam darah tidak mampu merangsang sekresi insulin, dan perangsangan
baru terjadi setelah pemberian tolbutamid.
Keadaan stres yaitu saat terjadi perangsangan
simpatoadrenal, epinefrin bukan hanya meninggikan kadar glukosa darah dengan
glikogenolisis, tetapi juga menghambat penggunaan glukosa di otot, jaringan lemak
dan sel-sel lain yang penyerapan glukosanya dipengaruhi insulin. Glukosa lebih banyak tersedia untuk metabolisme otak yang
penyerapannya tidak dipengaruhi oleh insulin.
Insulin
meningkatkan ambilan K+ ke dalam sel, efek serupa terjadi pada Mg++,
dan diduga ion-ion tersebut bertindak sebagai second messenger yang
memperantarai kerja insulin. Jadi hipeglikemia dapat disebabkan oleh berbagai keadaan,
demikian halnya dengan sindrom diabetes melitus. Semua keadaan yang menghambat
produksi dan sekresi insulin, terdapatnya zat-zat yang bersifat anti-insulin
dalam darah serta keadaan yang menghambat efek insulin pada reseptornya, semua
dapat menyebabkan diabetes melitus.
2.
Antidiabetik Oral
Pemilihan
obat antidiabetik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi
diabetes. Pemilihan terapi menggunakan antidiabetikoral dapat dilakukan dengan
satu jenis obat atau kombinasi. Pemilihan dan penentuan regimen
antidiabetik oral yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan
penyakit diabetes melitus serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk
penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada.
Berdasarkan
mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi menjadi 5
golongan, yaitu:
1. Golongan Sulfonilurea
2. Golongan Biguanid
3. Golongan analog
Meglitinid
4. Golongan
Thiazolidindion
5. Golongan penghambat
alphaglukosidase
2.5 Mekanisme Kerja
2.5.1 Mekanisme Kerja Insulin
Insulin
mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian metabolisme.
Insulin yang disekresikan oleh sel-sel β pankreas akan langsung diinfusikan ke
dalam hati melalui vena porta, yang kemudian akan didistribusikan ke seluruh
tubuh melalui peredaran darah. Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal
adalah membantu transpor glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin
menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau terhambat masuk ke dalam sel.
Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh
kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak dapat memproduksi energi
sebagaimana seharusnya.
Selain
fungsinya membantu transport glukosa masuk ke dalam sel, insulin mempunyai
pengaruh yang sangat luas terhadap metabolisme, baikmetabolisme karbohidrat dan
lipid, maupun metabolisme protein dan mineral.insulin akan meningkatkan
lipogenesis, menekan lipolisis, serta meningkatkan transport asam amino masuk
ke dalam sel. Insulin juga mempunyai peran dalam modulasi transkripsi, sintesis
DNA dan replikasi sel. Itu sebabnya, gangguan fungsi insulin dapat menyebabkan
pengaruh negatif dan komplikasi yang sangat luas pada berbagai organ dan
jaringan tubuh.
Penderita
diabetes militus, sering didapati kadar kolesterol yang tinggi dalam darah. Hal
ini berhubungan erat dengan kenyataan bahwa arteriosklerosis lebih cepat timbul
pada pendirita diabetes. Penyebab hiperkolesterolemia tersebut masih belum
jelas, karena degradasi kolesterol yang berkurang dalam hati.
Defisiensi
sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1, namun pada penderita
yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel
sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada beberapa mekanisme
biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya adalah,
defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah
sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam
lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di
jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan
perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi
insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel
sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati
dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian
besar jaringan tubuh) di jaringan adiposa.
Kebutuhan
insulin pada penderita diabetes sangat berbeda-beda, karena adanya perbedaan
faktor yang mempengaruhi kadar glukosa darah. Seorang dewasa yang telah
mengalami pankreatektomi, membutuhkan kira-kira 30 unit insulin tiap hari untuk
mempertahankan metabolisme normal. Kebutuhan insulin berkurang bila penderita
banyak melakukan kerja fisisk. Penderita diabetes dengan kerja fisik berat
harus mendapat asupan kalori yang lebih besar dari biasanya serta dosis insulin
yang lebih rendah.
2.5.2 Mekanisme Kerja Obat Antidiabetik Oral
Berdasarkan
mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi menjadi 5
golongan, yaitu:
1. Golongan Sulfonilurea
Bekerja
dengan cara merangsang sekresi insulin di pankreas sehingga hanya efektif bila
sel beta pankreas masih dapat berproduksi. Terdapat beberapa jenis sulfonilurea
yang tidak terlalu berbeda dalam efektivitasnya. Perbedaan terletak pada
farmakokinetik dan lama kerja. Termasuk dalam golongan ini adalah:
Klorpropamid, Glikazid, Glibenklamid, Glipizid, Glikuidon, Glimepirid, Tolazalim
dan Tolbutamid.
Hal-hal
yang harus diperhatikan dalam penggunaan obat golongan ini :
a.
Golongan
sulfonil urea cenderung meningkatkan berat badan.
b.
Penggunaannya
harus hati-hati pada pasien usia lanjut, gangguan fungsi hati dan ginjal.
Klorpropamid dan glibenklamid tidak dianjurkan untuk pasien usia lanjut dan
pasien insufisiensi ginjal. Pada pasien insufisiensi ginjal dapat digunakan
glikuidon, gliklazid atau tolbutamid yang kerjanya singkat.
c.
Wanita
menyusui, porfiria dan ketoasidosis merupakan kontraindikasi bagi pemberian
sulfonilurea.
d.
Insulin
kadang-kadang diperlukan bila timbul keadaan patologis tertentu seperti infark
miokard, infeksi, koma dan trauma. Insulin juga diperlukan pada keadaan
kehamilan.
e.
Efek
samping, umumnya ringan dan frekuensinya rendah diantaranya gejala saluran
cerna dan sakit kepala. Gejala hematologik termasuk trombositopenia,
agrunolositosis dan anemia aplastik dapat terjadi tetapi jarang sekali.
Hipoglikemi dapat terjadi bila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga
pada gangguan fungsi hati/ginjal atau pada orang usia lanjut. Hipoglikemia
sering ditimbulkan oleh ADO kerja lama.
f.
Interaksi,
banyak obat yang berinteraksi dengan sulfonilurea sehingga risiko terjadinya
hipoglikemia dapat meningkat.
g.
Dosis,
sebaiknya dimulai dengan dosis lebih rendah dengan 1 kali pemberian, dosis
dinaikkan sesuai dengan respons terhadap obat.
2. Golongan Biguanid
Bekerja
dengan cara menghambat glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan glukosa di
jaringan. Termasuk dalam golongan ini adalah Metformin, Fenformin, Buformin.
Efek samping yang sering terjadi (20% dari pemakai obat) adalah gangguan
saluran cerna seperti anoreksia, mual, muntah, rasa tidak enak di abdomen dan
diare.
3. Golongan analog
Meglitinid
Bekerja
dengan cara mengikat reseptor sulfonilurea dan menutup ATP-sensitive potassium
chanel. Yang termasuk dalam golongan ini adalah Repaglinid.
4. Golongan
Thiazolidindion
Bekerja
dengan cara meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin.
Berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferators activated receptor-gamma) di
otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin. Golongan
ini merupakan golongan baru dari ADO. Termasuk kedalam golongan ini adalah
Pioglitazone, Rosiglitazone.
5. Golongan penghambat
alphaglukosidase
Golongan ini adalah Akarbosa dan Miglitol yang bekerja
dengan cara menghambat alphaglukosidase yang mengubah di/polisakarida menjadi
monosakarida, sehingga memperlambat dan menghambat penyerapan karbohidrat.
Obat
atau senyawa-senyawa yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu
pemberian obat antidiabetik oral golongan sulfonilurea antara lain: insulin,
alkohol, fenformin, sulfonamida, salisilat dosis besar, fenilbutazon,
oksifenbutazon, dikumarol, kloramfenikol, senyawa-senyawa penghambat MAO (Mono
Amin Oksigenase), guanetidin, steroida anabolik, fenfluramin, dan klofibrat.
Hormon pertumbuhan, hormon adrenal, tiroksin, estrogen, progestin dan glukagon
bekerja berlawanan dengan efek hipoglikemik insulin. Disamping itu,beberapa
jenis obat seperti guanetidin, kloramfenikol, tetrasiklin,
salisilat,fenilbutazon, dan lain-lain juga memiliki interaksi dengan insulin,
sehingga sebaiknya tidak diberikan bersamaan dengan pemberian insulin, paling
tidak perlu diperhatikan dan diatur saat dan dosis pemberiannya apabila
terpaksa diberikan pada periode yang sama.
Pemberian
Obat Hipoglikemik Oral maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.
Terapi dengan Obat Hipoglikemik Oral kombinasi, harus dipilih dua macam obat
dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar
glukosa darah belum tercapai, dapat diberikan kombinasi tiga Obat Hipoglikemik
Oral dari kelompok yang berbeda, atau kombinasi Obat Hipoglikemik Oral dengan
insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinik dimana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, dipilih terapi dengan kombinasi tiga Obat
Hipoglikemik Oral.
BAB III
METODOLOGI
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
a.
timbangan hewan
b.
spuit injeksi
c.
gluko test
d.
kapas
e.
hewan coba : Mencit
3.1.2
Bahan
a. alcohol 70%
b. suspense Glibenclamid dosis 5mg/5ml.
c. larutan fructose
3.2
Prosedur Kerja
1)
Mencit
dibagi menjadi 2 kelompok (control positif dan negative).
2)
Kedua
mencit diberi perlakuan D10% untuk meningkatkan kadar glukosanya
3)
Setelah
dua mencit mendapat perlakuan, ditunggu sampai 30 menit dan cek kadar glukosa
darahnya
4)
Kemudian
mencit 1 diberi larutan suspense CMC-Na sebagai control positif
5)
Mencit
2 diberi suspense obat yang tersedia
6)
Setelah
perlakuan, ditunggu 30 menit dan bandingkan hasilnya.
3.3 Perhitungan Dosis
BB mencit = 43.2 gram
Konversi = 0.0026
x 5 mg
= 0.013 mg / 20 gram
= 0.00065 mg/gram
= 0.65 mg/kg
Dosis
Mencit = BB
mencit x konversi
= 43.2 gram x 0.65 mg/kg
= 0.0432 kg x 0.65 mg/kg
= 0.02808 mg
Pemberian
obat = 0.02808 mg / 5mg x 5ml
= 0.2808
ml
= 0.3
ml
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1 Tabel
Hasil Pengamatan
Kadar gula
|
||
Sebelum diberi Fructosa
|
Setelah diberi Fructosa
|
Sesudah diberi susp. Glibenklamid 5mg/5ml
|
108 mg/dl
|
142 mg/dl
|
111 mg/dl
|
4.2 Pembahasan
Diabetes mellitus, penyakit gula atau kencing manis adalah
suatu gangguan menahun pada khususnya metabolisme karbohidrat dalam tubuh, dan
juga pada metabolisme lemak dan protein (lat. Diabetes = penerusan, mellitus =
madu). Sebabnya ialah kekurangan hormon insulin untuk menggunakan (membakar)
glukosa sebagai sumber energi serta guna sintesis lemak, dengan efek terjadinya
hiperglikemia.
Diabetes, kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin
dapat menurun, atau pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin.
Keadaan ini dapat menimbulkan hiperglikemia yang dapat mengakibatkan komplikasi
metabolik akut seperti dibetes ketoasidosis dan sindrom hiperglikemia
hiperosmolar nonketotik (HHNK). Hiperglikemia jangka panjang dapat
mengakibatkan komplikasi mikrovaskular yang kronis (penyakit ginjal dan mata)
dan komplikasi neuropati (penyakit pada saraf). DM juga meningkatkan insiden
penyakit makrovaskuler yang mencakup insiden infark miokard, stroke dan
penyakit vaskuler perifer.
Kadar
glukosa serum puasa normal (teknik
autonalisis) adalah 70-110 mg/dl. Hiperglikemia
didefinisikan sebagai kadar glukosa puasa yang lebih tinggi dari 110 mg/dl.
Glukosa difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan hamper semuanya diabsorpsi oleh
tubulus ginjal selama kadar glukosa dalam plasma tidak melebihi 160-180 mg/dl.
Jika konsentrasi tubulus naik melebihi kadar ini, glukosa tersebut akan keluar
bersama urine, dan keadaan ini disebut sebagai glikosuria.
Gejala – gejala penyakit diabetes melitus adalah Polyuria yaitu volume urin
yang banyak atau sering buang air kecil,Poltpipsia yaitu kurangnya cairan dalam
tubuh,Polyphagia yaitu banyaknya makan yang dapat menyebabkan meningkatnya
glukosa dalam darah.
Mekanisme kerja glibenklamid yaitu merangsang sekresi
insulin dari granul sel - sel β langerhans pankreas. Ransangannya melalui
interaksinya dengan ATP-sensitif K chanel pada membran sel – β yang menimbulkan depolarisasi membran
dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. Dengan terbukanya kanal Ca maka ion Ca
2+ akan masuk sel-β merangsang granula yang berisui insulin dan akan terjadi
sekresi insulin dengan jumlah ang euivalen dengan peptide. Kecauli itu
sulfonilurea dapat mengurangi klirens insulin di hepar.
Percobaan ini
digunakan alat glukometer, dengan alasan bahwa alat glikometer merupakan alat
yang otometik memudahkan dalam memperoleh hasil glokosa darah, periksaan dengan
menggunakan alat ini memerlukan waktu yang reltif singkat, akurat, waktu tesnya
minimal 30 detik. Adapun cara penggunaan dari alat glukometer tersebut yaitu
penyaiapan alat dan strip glukotest, masukka strip glukotest kedalam bagian
ujung glukometer, teteskan darah pada tempat reagen strip glukotest, kemudian
dibaca kadar gula yang tertera pada layar glukometer, dimana mekanisme kerja
dari alat glukometer yaitu dalam strip terdapat enzim glukooksigenase yang mana
jika sampel darah mengenai strip maka akan langsung terbaca oleh glukometer
Tujuan
dilakukannya praktikum ini adalah untuk mebuktikan efek hipoglikemik dari obat
obat penurun glukosa darah yang diberikan terhadap hewan percobaan (mencit).
Hal pertama yang
dilakukan adalah mengukur kadar glukosa awal pada mencit dan didapat hasil
untuk mencit 1 (control) kadar glukosa awalnya adalah 108 mg/dl.
Setelah itu
barulah mencit diberikan obat glibenclamid secara oral dan mencit 1 diberikan
CMS-Na fisiologis juga secara oral, setelah 5 menit setelah pemberian obat
disuntikkan dengan fructosa juga secara oral ditunggu 30 menit lalu diukur
kadar glukosanya hasil yang diperoleh kadar glukosa mencit adalah 142 mg/dl.
Setelah dilakukan pmeberian fructose beserta pengecekan kadar gula, mencit
diberi obat penurun kadar glukosa darah yaitu suspense glibenklamid dengan
dosis 5mg/5ml lalu diukur kadar glukosa pada menit ke 30 setelah pemberian obat.
Hasil praktikum yang didapat bahwa mencit yang
diberikan glibenclamid pada menit ke 30 menit, kadar glukosa pada mencit mulai
menurun. Data percobaan yang dilakukan,
Glibenklamid merupakan obat antidiabetik yang efektif dimana didapatkan
penurunan kadar glukosa setelah pemberian obat yang penurunannya
berangsur-angsur ke kadar normal yaitu 111 mg/dL.
BAB
V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Kelainan yang ditimbulkan jika kadar glukosa darah
meningkat adalah penyakit diabetes melitus (DM). Sedangkan kelainan yang
ditimbulkan jika kadar glukosa dalam darah menurun adalah hipoglikemia. Selain
itu, ada beberapa kelainan-kelainan yang ditimbulkan dari metabolisme gula
karbohidrat yang abnormal yaitu galaktosemia dan glikogenosis.
Percobaan ini dianggap
berhasil karena mencit yang diberikan glibenclamid mengalami penurunan glukosa
darah danterjadi efek hipoglikemik. Glibenclamid diberikan secara oral sehingga
masuk dulu kesaluran pencernaan dan merangsang sekresi insulin dan sesuai dengan
mekanisme kerjanya yang menghasilkan penurunan kadar glukosa dari 142 mg/dl
menjadi 111mg/dl.
5.2 Saran
a. Perhatian dan pahami prosedur kerja
praktikum sebelum melakukan praktikum.
b. Lebih
berhati-hati dalam penangganan hewan percobaan dan dalam pembacaan skala spuit
agar dosis yang diberikan tepat dan tercapai efek yang dikehendaki
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit
Diabetes Mellitus. Jakarta : Dirktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik.
Katzung, G. Bertram.
2002. Farmakologi : Dasar dan Klinik. Buku 2. Jakarta : Penerbit Salemba
Medika.
Ukandar, E. Y., J. I. Sigit, I. K.
Adnyana, A. A. P. Setiadi, Kusnandar. 2008. ISO Farmakoterapi. Penerbit
PT. ISFI Penerbitan. Jakarta
Suryono, 2004. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus.
Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Suryono, S., 2006. Diabetes
Mellitus di Indonesia. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKU.
Tjokroprawiro Askandar, 2001. Diabetes Mellitus : Klasifikasi Diagnosis dan Terapi. Jakarta
: Gramedia.
Wilhiam, Skach,MD, dkk. 1996. Penuntun Terapi Medis (Hannd Book Of
Medical Treatment). edisi 18. Jakarta : EGC.
Sukarta Yusuf. 2013. Laporan Anti Diabetes. Online. http://yusufsukarta.blogspot.com/2013/06/laporan-anti-diabetes.html diakses tanggal 10 Mei 2015
Yoco.2014. Laporan Farmakologi Antidiabetes.
Online. https://ocyocoico.wordpress.com/2014/06/07/laporan-farmakologi-antidiabetes/ diakses tanggal 10 Mei 2015
No comments:
Post a Comment